Tulisan bung Salman Karya Nusantara, pria yang ada di foto dibawah ini merupakan Pemerhati Gerakan Khasanah Budaya Nusantara GKBN
sumber: islamlib |
It
is better to violent, if there is violence in our hearts, than to put on the
cloak of non-violence to cover impotence, violence is any day prefable to
impotence, there is hop for a violent man to vecome non-violence, there is no
such hope for the impotent.
(lebih
baik menempuh cara - cara kekerasan, kalau memang hati kita dipenuhi semangat
kekerasan, itu lebih baik daripada berpura - pura menolak kekerasan karena merasa
tidak berdaya. Kekerasan selalu baik daripada berserah pada ketidakberdayaan.
Tapi tidak ada harapan demikian buat mereka yang menyerah kepada
ketidakberdayaan). Merton 1965:37. Mahatma Gandhi
Mungkin anda bertanya - tanya jika
sepintas bahasa di atas tidak mendapati jawaban akhir. Ada dua pandangan yang
berpegang pada prinsip. Pertama, “kematian pencipta teks” yang itu artinya juga
“hidupnya penafsir/pembaca teks” , menurut pandangan ini, sebuah teks bebas
untuk ditafsirkan sesuai kemauan dan kepentingan. Ketika sebuah teks telah
diciptakan dan dilempar ke khalayak pembaca, ketika itu pula sang pangeran atau
pencipta teks tak memiliki kuasa atau otoritas apapun untuk mengatur proses dan
hasil interpretasi atas teks yang dibuatnya.
Disini faktor subjektifitas sangat kuat, penafsir memiliki kebebasan
penuh untuk menafsir teks sesuai konteks yang melatarinya, dalam hal ini
latarbelakang kehidupan dan kondisi sosial, politik, ekonomi dan kultur seorang
penafsir menjadi faktor penentu yang mempengaruhi cara dan menentukan hasil akhir
sebuah tafsir. Jadi “konteks” penafsir tak boleh diabaikan.
Berbeda dengan pendapat pertama, pandangan kedua, relatif lebih ketat
dalam mengatur proses penafsiran atas sebuah teks, yakni “kematian seorang
penafsir”, "dan hidupnya pencipta teks” menurut pendapat ini, penafsir atau
pembaca tidak memiliki otoritas untuk menafsirkan teks sesuai dengan keinginan
dan kepentingannya, sebaliknya seorang penafsir memiliki tugas atau kewajiban
untuk mengungkap makna bagaimana maksud si pencipta teks dan keberhasilan tafsiran menurut perspektif
ini terletak pada kesuksesan penafsir dalam mengungkap maksud pengarangnya.
Yakni pencipta teks dilingkupi oleh kondisi sosial, ekonomi, budaya atau
politik. Agar hasilnya tidak melenceng. Berbagai faktor tersebut harus dipertimbangkan
serta dijadikan patokan tatkala penafsiran sedang berlangsung.
Jihad Dalam Tafsir Harus Menemui Realitas
Salman K.N |
Hal ini dapat kita rujuk pada
literatur pemikiran islam yang berkembang dewasa ini, oleh sebagian pemikir
islam, terminologi jihad dimaknai perjuangan untuk menciptakan perdamaian tanpa
kekerasan. Disini bentuk implementasi jihad adalah perjuangan dijalur struktur
dan kultural, entah dengan dialog atau persuasif. Namun ada juga interpretasi
jihad versi yang lain, yaitu jihad dimaknai sebagai perjuangan dengan cara
melakukan tindakan kekerasan demi sebuah tujuan tertentu yang bersifat suci,
jihad dalam arti ini identik dengan “perang suci”.
Selain dua pandangan tersebut, sebagian
intelektual islam juga memaknai jihad sebagai perjuangan yang berorientasi sosial-kemanusiaan;
seperti berjuang memberantas korupsi, kemiskinan, dan sederet aksi sosial dan
kerja dianggap implementasi jihad itu sendiri. Inilah kekuatan sebuah tafsir
yang berbeda dari pandangan sebelumnya.
Teks Jihad Dapat Diartikan Dalam Berbagai Makna Bahkan Saling Bertolak
Belakang
Ketika teks jihad dianggap teks
agama yang “melegitimasikan kekerasan” dan konsep “menyerukan perdamaian tanpa
kekerasan”. Disini seorang interpretator memiliki otoritas untuk menafsir teks
sesuai alur pemikiran dan jalan logikanya. Dalam hal ini yang perlu diwaspadai
adalah kepentingan yang menjadi orientasi penafsir, maka itu proses dan hasil
interpretasinya berpengaruh.
Kepentingan bisa menjadi hantu malam
yang menyusup ke tengah - tengah “gelapnya” proses interpretasi, tanpa
disadarinya kepentingan bisa menyusup dalam ketidaksadaran penafsir dan
menjelma menjadi kontrol pengendali dalam proses penafsiran yang kita lakukan,
namun kemungkinan sebaliknya bisa terjadi. Bukan tidak mungkin dua otoritas
(subjek) yang berbeda menhasilkan sebuah interpretasi yang sama atas sebuah
teks, misalnya seorang TNI atau POLRI
dan ulama sama - sama menafsirkan kata jihad sebagai “perjuangan fisik di
medan perang”. Walaupun memiliki dua jendela pemikiran yang berbeda yaitu
jendela militer dan agama namun keduanya memiliki penafsiran yang sama atas
makna teks jihad ini yaitu keduanya disatukan oleh kepentingan yang sama bahwa
jihad memiliki arti perang fisik.
Hermeneutika Menemui Alasan Jika Bersesuaian Dengan Realitas
Dari
sudut pandang ini persoalan jihad adalah persoalan interpretasi dan dalam hal
ini hermeneutika memiliki tempat yang ideal dihadapan warga negara sebagai seni
untuk menafsir dan pisau analisis, baik dilihat teks jihad sebagai perjuangan
“perang”, ”damai” atau aksi sosial kerja dan kemanusiaan.
Upaya untuk menginterpretasikan teks suci agama berdasarkan prinsip non-kekerasan harus disertai upaya untuk menciptakan keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi rakyat indonesia yang terdiri dari beragam suku, ras, agama dan budaya dengan demikian maka tidak ada lagi upaya untuk berkata; meminjam kata Gandhi:
Kalau tak ada kemampuan membela diri tanpa
menggunakan kekerasan, jangan ragu - ragu untuk melawan dengan menggunakan
cara - cara kekerasan
(Merton 1965;38).
Yang mau update Artikel ilmiah, Cerpen, Sajak, Puisi, Opini, Berita, Video, dan Foto Follow twitter Nacha sujono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar