السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ Kita tak bisa memastikan kapan akan Mati - Yang pasti bahwa semua akan Mati "Orang paling pandai orang yang paling ingat akan masalah kematian (Sabda Rasulullah saw.)"

Ingin Kembali Tak Pernah Dilahirkan

Lirih NS Tak ingin Dilahirkan, Jika seperti tak pernah ingin terlahirkan 
 
Setelah Pengunjung Melewatkan Membaca bagian kata ke kata, kalimat ke kalimat berikutnya, dari awal hingga akhir CERPEN Dibawah Ini Perlu Ketahui Saat Saya Menulis Menggunakan Laptop Yang Tombol Keyboard Huruf (FE)nya Tidak Berfungsi
  
Kamar Andry Dini Hari 02:27. Kenyataan Mencatat Kisahnya

Pertama gagal kedua akankah jadi bunuh diri, begitulah pertanyaan kuajukan pada diri sendiri pagi ini at.02:27.15/01/16, belum ada jawab jika telah mati artinya jawaban sudah tau ketika membaca cerita pendek ini kutulis disaksikan lantunan syair manggarai terurai derita ditelinga bersama kenyataan, 10 jari yang turut bekerja menyelesaikan catatan hati dari kenyataan yang tak banyak diketahui orang kecuali saudara Lamuis dengan panggilan kesayangan untuknya Is bukan lahir dari satu rahim denganku yang telah kuanggap bagian dari keluarga sebagai kakak juga kadang adik tatkala dia keliru sepertiku dan harus kunasihati, mata bengkak dipelipis bawa saksi bisu melekat jika ada yang memahami akhir – akhir ini hampir seharian penuh melewati hari – hari dengan tatapan tertuju pada halaman buku – buku karena dapat menghibur diri sejenak menatap kosong melupakan kepahitan dan pesakitan sangat perih kemudian sebentar setelah kututup halaman segalanya datang menimpa lagi tanpa bisa menghindar, larut malam ini dimana keaadaan peluh tertatih saat jari – jemari kaku menekan tombol demi tombol merangkai kenyataan pahit yang kututurkan dari hati bukan naskah akting bukan catatan biasa sekedar hanya melewatkan malam – hingga pagi, bukan juga tak berasa ataupun tak nyata kupekerjakan paksa kedua tangan, dalam isak tangis tak bersuara disetiap nafas kesengsaraan yang menghembus lorong – lorong kecil, sedih yang tak pernah tuturkan melalui kata – kata lisan ataupun melalui bahasa tubuh tak ada yang mendengar karena percuma mereka mendengar tak dapat memberi solusi aku tidak pantas didengarkan oleh mereka ini hanya derita anak seorang bapak yang telah dibunuh dimasa kejayaan ekonomi keluarga dan ibu yang tak pernah menghiraukan anak – anaknya selalu saja sibuk mencari kesenangan seperti tak pernah melahirkan anak – anak sehingga tak dirasakan kesakitan membuatnya tidak peduli dengan adik laki juga perempuan kecuali yang tidak diketahui orang – orang sebuah sikap dalam kemunafikan yang dipertontonkannya pada keluarga dan pada siapa saja yang memperdulikan keluarga rumah selalu saja dirumah anak – anak menjadi kambing hitam atas lenyapnya harta benda yang diwarisi mendiang ayahanda untuk kepuasan nafsu sesaatnya bersama laki yang tak pernah sedikitpun memikirkan dirinya dimasa depan kecuali memanfaatkannya hingga warisan mendiang ayah lenyap dan nyaris tak terhormat ketika pulang rumah melihat mata yang tertuju dengan segala tuduhan sirna bersama kepahitan menyelinap teramat memedihkan, kelaparan sering dialami berhari – hari dari kota – kekota setelah uang – uang habis membeli makanan sebulan hingga dua bulan setelah dilepas dari pekerjaan dan tidak punya pekerjaan lagi telah sadar sejak awal akan dibohongi dan dimanfaatkan namun enggan berontak karena kesadaran bagaimana harus memberontak pada jiwa – jiwa kerdil yang bergantung pada yang bergantung, permintaan yang ditolak dimana – mana setelah memberi mereka dengan segala keterbatasan dan kelebihan yang melekat akhirnya kulepaskan begitu saja tanpa paksa dari diri untuk menahan atau mendapatkan balasan melainkan karena merasakan dorongan natural dari dalam itu bentuk kekuatan suruhan moral ruh pengetahuan juga pesan kesan yang kuterima setelah mencari juga diberi Cuma – Cuma tanpa harus lelah belajar kalau mungkin dibilang ilham datang melalui perenungan sebagai anugerah besar sank illahi alam kemanusaian yang pantas memanusiakan yang lain saat manusia seperti tak punya harapan dari manusia disekitarnya tak peka melihat pinta yang terpampang tanpa bersuara juga tak berdengus, saat meraih telepon genggam satu persatu mencari nomor yang kutuju disana mungkin dapat mendengar suara lirih permohonan padanya mungkin bisa memberi solusi keluar dari kesulitan yang sejak lama tak kuceritakan padanya namun tengah perbincangan cerita keadaan tentang tujuan menghubunginya rupanya dia tidak mau mendengarkan lama – lama menolak memahami kesulitan – kesulitan yang mendera disini akhirnya pupus harapan malam itu belum sempat membicarakan apa yang harus dia bisa bantu sebagai orang yang kuanggap keluarga untuk membantu keaadaan yang terhimpit, rasa sakit sekali yang kurasakan ditulang – tulang membuyarkan kenikmatan yang harusnya dicicipi malam ini karena hening dalam kegelisahan yang tiada tara, kopi yang selalu tidak lancar terasa tidak nikmat saat harus menegukkan keadaan perut kami kosong tanpa makanan tetapi bagaimana disini hanya punya segelas kopi yang bisa menghilangkan kelaparan sebentar kembali lapar lagi perut berbunyi seolah bekerja berontak untuk keseimbangan pembakaran dalam tubuh krisis pilihan bersama keadaan terbatas semua manuisa disini tanpa sadar bahwa sedang dalam kegaduhan beradu dalam perasaan tak menentu, kenikmatan yang pantas untuk saat masa – masa genting dan tak ada lagi pilihan sebab dimana tempat berada sekarang krisis pilihan tak ada kesempatan mengakses segala bentuk pilihan yang bisa membuat nyaman diri sendiri ataupun mereka yang punya tempat tidak memiliki pilihan, sedikit kebahagian yang bisa mereka raih untuk sesaat membuatku menatap dengan tatapan kosong penuh tanda tanya tak berujung sebab jawaban selalu tidak ada kejelasan dikemudian hari, seperti saat kutanya hal keuangan pada ibu yang harus memberikan kiriman kepada adik perempuan yang sedang kuliah dirantauan selalu saja tidak jelas membuat sekolah mereka selalu dengan perasaan tak karuan bersama pupus mencoba bergerak semampu yang tersisa darinya kekampus, keperpustakaan, ketaman baca dalam ayunan langkah terluntang – luntang disamping kanan kain panjang menutupi kepala hingga kaki menghembus sekujur tubuhnya tak tertahan asap kendaraan kota kecil yang ramah bersahaja namun iklim perasaan tak seramah dulu lagi semuanya telah cerdas dengan segala macam kecanggihan berfikir dan teknologi membuat manusia tidak lagi merasa perlu akrab dengan manusia segala bahasa lisan dan ferbal dapat diterjemahkan melalui kecanggihan teknologi tak jauh sejengkalpun dari indifidu manusia kota, sekarang penyakit manusia kota sedang menjalar wabahnya ke desa menjauhkan kedekatan silaturahmi kerabat juga adik kakak satu ayah ibu, keterasingan itu telah menjadi sangat jelas wajar kehidupan disini, cita – cita mendidik diri untuk menjadi baik berubah menjadi alibi untuk kekuatan menyangkal segala nasihat leluhur juga orang tua yang baik ketika mendengarkan searah serempak mengiyakan juga mengangguk – angguk dibalik kecongkakan pribadi yang telah menjadi kuasa pengetahuan tidak serta merta dalam sebuah tindakan searah dengan nasihat yang telah di dengar dengan segala kecanggihan berfikir dalam pertimbangan yang telah dionakkan dunia kemajuan pengetahuan dalam pertimbangan kompleks segalanya sah bisa tidak dituruti walau itu nasihat agama semua kontras dalam pandangan manusia ilmu pengetahuan dan teknologi, pagi tadi berusaha menuruti ajakan adik berperawakan besar Andry namanya sedang belajar bersahaja agar tidak dikira sok penting juga kadang sedang ingin mendapatkan pengakuan dari orang yang dianggapnya pantas untuk mengakuinya walau tidak dengan blak – blakan tapi cukup saya mengerti dengan bahasa tubuhnya yang tersirat diwajah, sebuah kesadaran yang refleks dari dalam naluriku untuk mengakui kecakapannya memimpin sebuah organisasi etinis, andry dengan nada tawaran ikut pergi atau tidak dirumah bantaran ikatan keluarga mahasiswa lelak malang IKALMA yang menampung kehadiran saya dengan keterbukaan hati penuh ikhlas, kesebuah rapat perencanaan perjalanan silaturahmi keluarga disurabaya, sesampainya dirumah itu setelah salam masuk dan berjabatangan satu persatu pada penghuni dan pendatang rumah itu perbincangan resmi agenda organisasi dimulai, tepat ada disudut seorang memakai blangkon khas manggarai, diujung seseorang berbicara dengan lantang ternyata setelah kukenal ditengah - tengah perbincangan itu dia seorang kakak senior mereka duduk dipojok sebelah kanan disamping sesekali melihat kearahku tatapannya datar dari bawa pertanda dia sedang belajar menjadi seorang bijak namun butuh sebentuk penilaian atau mungkin sedang menawarkan kesepakatanku dengan apa yang sedang diutarakannya kuanggukan kepala perlahan – lahan dengan pasti mengiayakan apa yang dikatakannya dengan wajah air tersirat senyum simpul senang bangga atas anggukan yang berlalu tadi, keramaian itu sirna tak dapat mengubah perasaanku yang kembali letih memikirkan nasib baik yang kurang berpihak pada keadaan kesulitan yang tak dapat kuhindar, setelah diskusi ramai telah usai semunya satu persatu beranjak dari tempat duduk berjalan mengikuti dua orang yang terdengar ketawa suara anak nuchalale dari keduanya memulai cerita dan canda didepan rumah itu, ada seorang perempuan muda yang sedang menyisir rambut didepan cermin besar melihatku dari depan cermin yang berhadapan dengannya ada aku dibelakang, menoleh sebentar melemparkan subuah pertanyaan “sejak tadi disini kak?” “Iya dinda” jawabku “mari kak kita duduk diluar” sembari melangkah kearahku yang barusan lima menit menunduk sejengkal dari belakang dinding yang telah usang cat temboknya, diluar terdengar jelas obrolan ase – ka’e mangarai lelak tentang kecerian mereka diSMA ada perempuan cantik yang mereka pacari dan akhirnya diputus namun tak membuat mereka galau banyak lagi cerita yang mengundang respon ketawa lebar orang – orang depan rumah bantaran itu, setelah kuangkat kepala bersamaan menoleh kesamping lalu keatas menelusuri letak wajah perempuan yang terlihat lutut itu ternyata sejak tadi tersenyum datar ramah, ada kopi hangat sedang menguap searah dengan bundaran ujung atas gelas ditangan kanannya itu aromanya dapat kukenal khas manggarai kopi tumbuk, mataku tertuju kearah uapan kopi hangat itu sangat lama “ini kopi kakak mau?” tawarnya dengan senyum ramah khas perempuan cantik itu “iya dik sedikit ya kakak minta” jawabku “iya kalau kakak mau ini untuk kakak segalas” “terima kasih ya dinda kamu baik deh” ucapanku pada perempuan cantik ini membuatnya semakin tersenyum manis lebar setelah menerima gelas kopi darinya “sama – sama kak” balasnya sembari menatapku penuh iba kayaknya dia sedang mengikuti kesedihan yang bergejolak dalam batinku, sore itu rasanya bahagia sebentar, setelah pulang dalam perjalanan kembali lagi merasakan kepahitan – kepahitan yang melekat dihati teriris pedih dengan kenyataan yang kuterima, malamnya setelah magrib tercerahkan lagi sebentar, baru saja kuletakkan tubuh diatas kursi depan meja belajar handphone berdering adik dari mataram sedang memanggil dia menepati janjinya menghubungiku fia handphone malam ini pembicaraan kami malam ini tentang gelombang gelap yang menimpa keluarga dirumah yang sangat rumit dan mengancam keberlangsungan masa depan cerah adik laki juga adik perempuan.

Pulau Dewata – Labuan Bajo. Lebaran Ke-22 Ditengah Gelombang Bercucuran Air Mata 2014

Sumber: Konfrontasi.com
Keadaan mencekam yang kulewati dihari – hari tahun 2014 kembali menimpa, saat itu dilendo sekembalinya dari pulau dewata, awal pertama kedatangan ditanah kelahiranku itu tak diketahui oleh Siti Arni yang biasa kupanggil ine atau ibu, pagi itu tepat jarum jam tangan laki separuh baya depanku diangka 09.23, seorang lagi disamping tempat kubaringkan badan yang terasa hampir remuk asal Manggarai Tengah yang sejak awal bersamaku dikapal tumpangan penumpang benoa tujuan labuan bajo membangunkan “to’o ga nara tua ce’e labuan ite ga” tangannya masih terasa diujung paha menggoyangkan badan dengan suaranya yang kukenal khas perempuan berparas cantik itu, dengan mata yang masih sangat berat kupaksakan membuka perlahan – lahan keduanya jelas masih merah terlihat dari cermin samping perut perempuan yang selalu murah senyum itu saat sekilas ataupun lama menatap kearah laki – laki disamping kanan yang masih terbaring disentuhnya itu aku, mereka berdua banyak melewatkan pelayaran dengan canda tawa saat saling berbagi cerita suka duka kehidupan, baru saja tiga jam yang lalu memejamkan mata sejak awal pertama pelayaran dimulai, bayangan lebaran yang baru lewat kemarin diwarnai dengan derai cucuran air mata tak henti – henti hingga sore kemarin, ingatan masa silam berlebaran bersama keluarga dan almarhum ayahanda saat masih hidup menguasai perasaan batinku yang tak mampu menghalau deraian air mata, yang kukenang dalam ingatan tentang banyak hal bersama ayahanda senyum juga canda khasnya yang tak pernah kulihat dan tak terdengar lagi untuk selamanya, suaranya yang besar fals namun dengan fokal terdengar jelas hanya mampu ku ulang dalam bayang semu telah menjadi angan – angan tentangnya, saat kepala tertundak didepan kedua lututnya sujud hormat dari anak atau sungkem “dalam bahasa jawa” kepada ayah ibu dari kami anak – anak mereka, begitu juga dari adik laki – laki dan perempuan yang sangat disayangi, dia bawa mereka semua dalam ingatan penyemangat disetiap langkah kakinya ketempat bekerja, ia berjalan menuju keharapan masa depan keluarga yang cemerlang dengan fikiran berkutat dikepalanya sekuat tenaga beraktifitas disisah umurnya saat anak – anak duduk dibangku SD dan yang bungsu sedang belajar merangkak kemudian berusaha berdiri semampu usaha, saat merangkul memeluknya erat aroma wangi yang tercium dari tubuhnya membuatku selalu mengingatnya saat lebaran idhul fitri yang datang silih berganti setiap tahun, bersamaan merangkulnya erat kucium pipi kanan – kirinya dikuhadapkan wajah sejajar dengan kening hidungnya mencium lama dalam hatiku berkata dengan do’a terhentak berbait – bait dari dalam lubuk yang paling dalam ku mohonkan pada illahi semoga umurmu panjang sesampai harapan ayah dan keluarga dirumah, dalam lirih kusambung bersuara dalam hati ayah engkau hebat pahlawan bagi kami semua disini ayah kebanggaan semua ibu anak – anak dari keluarga mereka saya tak dapat membayangkan jika ayah tidak lagi bersama kami akan hancur keluarga ini bayangku saat kupegang erat gelas kopi dan sebatang roti kering di tangan di dek paling atas kapal itu, hati ini berdegup kencang entahlah aku tak tau alasan prasaanku saat itu untuk menjelaskan pada perempuan yang menatapku didepan meja, sangat sedih yang kurasakan berlebaran didalam kapal yang bergerak naik turun, ombang ambing kekiri dan kekanan hanya bersama awak kapal dan beberapa penumpang yang tak mampu ditampung musholla berdiameter sekitar 5 X 9.M yang mengikuti sholat idhul fitri di dek enam, kali ini lebaran ke-22 dalam perjalan hidupku, dalam hati saat itu semoga saja lebaran kali ini bukan yang terakhir aku tidak mau berlebaran tanpa bersama keluarga, kerabat, sanak saudara dan famili untuk yang terakhir kalinya “amin allah” sambung tutur hati berharap penuh kepada allah sank pemilik satu – satunya kehidupan,
BERSAMBUNG....

CERPEN yang telah anda baca diatas diangkat dalam tulisan berdasarkan kisah nyata sebagian dari perjalanan hidupnya penulis sendiri.

Yang mau update Artikel ilmiah, Cerpen, Sajak, Puisi, Opini, Berita, Video dan Foto Follow twitter Nacha sujono 

Tidak ada komentar:

Baca juga topik dibawah ini:
Lihat kamus di Beranda!
DAFTAR EMAIL KAMU UNTUK BERLANGGANAN UPDATE Ujung Pena NS