السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ Kita tak bisa memastikan kapan akan Mati - Yang pasti bahwa semua akan Mati "Orang paling pandai orang yang paling ingat akan masalah kematian (Sabda Rasulullah saw.)"

Inung Wae Tebur Tedeng Len

Tiwu Puang
Tidak berlebihan jika saya mengungkapkan dalam kalimat tulisan bahwa siru inung wae tebur tedeng len. bukan mengolok atau menghina sebab saya yang menulis bagian dari dro’eng siru turut merasakan tidak mungkin dong saya menghina diri saya sendiri, namun saya merasa terhina karena dihina oleh mereka yang disana duduk dipemangku kepentingan dro’eng siru, tapi inilah kenyataan manusia siru sebenar – benarnya yang saya alami bersama manusia lain dikampung kami desa siru watu lendo, saat menuliskan kenyataan kami disiru saya tak mampu menahan mata yang perlahan – lahan meneteskan air mata duka disini, tulang – tulang manusia duka air disini setiap malam dan keesokan paginya sebelum kesawah atau kekebun harus diolesi oleh minyak urut, lantas kaki tergelinicir kemudian menabrak batu kecil atau besar yang tajam, tangan pegal – pegal, kepala rasa migran pusing itu semua dirasakan disini setiap pagi dan sore, mau bagaimana lagi kenyataan sebagai manusia kecil berdaya harus menerima walaupun bukan takdir ataupun nasib yang ditetapkan sang pencipta untuk manusia disini, tapi tuan – tuan disana duduk menetapkan nasib manusia disini dengan kesombongan, keserakahan tak tertahan, tak bisa disangkal memutuskan anugerah illahi untuk manusia disini dengan sewenang – wenang diatas mandat yang dianugerah dari tuhan mereka juga untuk manusia tuhan  disini yang bukan tuan – tuan negara diyatim piatukan, dimarjinalkan padahal manusia siru juga wua tuka nuchalale kuni agu kalo namun mereka disembunyikan keadaan dan eksistensi oleh tuan – tuan pemangku kepentingan saat orang nomor satu diindonesia berkunjung ke nuchalale begitu sentimenkah kepada wua tuka de empo agu tae tanah lahat, cerita tentang wuatuka siru tidak bisa kita sembunyikan diabdi negoro ini, manusia disini percaya tuhan melihat dengan respon sikapnya yang segera memutuskan keputusan sesuai wajar pantas untuk hamba manusia yang setiap saat memperlakukan diri layak umatnya,  “dro’eng siru minun air keruh selamanya” ia dro’eng siru minum dari sungai yang mengalir dari hilir ke hulu, sudah menjadi pemandangan hari – hari biasa dilihat beramai - ramai dan sangat diketahuai oleh dro’eng yang bermukiman deretan depan sungai bahwa setiap pagi dan petang manusia siru tidak mudah jika ingin mandi, masak, dan minum harus turun tebing jurang amat curam dikedua tangan membopong masing – masing satu jerigen kosong ukuran 20 liter dan pakain kotor dalam bak cuci dikepala bagi yang dewasa dan anak – anak usia sekolah dasar juga tak ketinggalan ikut turun tebing jurang melatih diri sedini mungkin membantu keluarga dengan dua jerigen ukuran 5 liter di kedua tangannya, perginya tak terlalu berat namun sepulang dari sungai harus mendaki dengan beban berat dikedua tangan, dikepala, sepanjang pendakian menahan pegal dan rasa lelah dengan nafas memburuh tersengal – sengal yang berhembus cepat dan terpaksa dari mulut dan kedua lubang hidung mereka harus mengayuh alunan langkah sambil menahan beban berat sekuat tumpuan tangan kelapa agar tidak jatuh yang kalau tidak hati – hati tidak hanya bawaan namun bisa saja manusia – manusia duka air ini jatuh dan terguling kebawah tebing bebatuan yang tajam kadang – kadang saat saya menyaksikan sembari berfikir merenung manusia disini super kuat jagonya mendaki tapi juga lucu mengundang senyum - senyum menertawai kami tat kala melihat tubuh terlihat tulang – tulang yang menonjol. dengan mata kepala manusia dari wae nengke hingga muara dipalis mereka menyaksikan itu disiru. Dari wae kanta sampai perbatasan desa wae wako hari – hari binatang seperti anjing, kerbau, babi hutan, dan jenis binatang lainnya yang dihilir hingga sepanjang peraliran sungai mengaliri kotoran yang telah dikeluarkan binatang – binatang tersebut, tidak hanya binatang namun manusia juga sering datang kesungai atau yang lewat tak menyia – nyiakan kesempatan buang kotoran mereka disungai, limbah rumah seperti deterjen cucian, dan peptisida seperti obat semprot racun hama wereng, pupuk non organik beracun, dan zat lain yang membahayakan jika dikonsumsi manusia mengalir dari sawah juga turut mengalir dihilir hingga aliran sepanjang sungai yang biasa digunakan manusia siru untuk mandi, cuci, memasak, dan minum, bagi masyarakat siru sangat bersyukur jika musim hujan saat awal hujan manusia – manusia siru berkesempatan bagi mereka masing – masing setiap rumah sibuk membuat penadah aliran hujan darurat dari seng rumah mereka bagi mereka yang kebanyakan tidak punya pipa yang terpasang diujung seng rumahnya untuk menampung air hujan yang jatuh dari seng rumah semampu yang mereka tadah, kalau hujan tiga sampai empat sehari maka mereka tidak perlu lagi turun tebing untuk menimba air keperluan memasak, minum, mencuci dan mandi karena persedian air yang mereka tampung cukup untuk tiga hari kemudian jika tidak ada tamu, namun situasi terakhir pemanasan global sehingga cuaca hujan tidak tentu kadang sebulan hanya turun dua sampai tiga kali kadang juga sebulan tidak turun hujan hingga diakhir beranjak kebulan berikutnya membuat dro’eng siru kesulitan mendapatkan air terpaksa mereka harus turun tebing untuk memenuhi kebutuhan air walaupun keruh karena dihulu hujan sebentar yang memicu tergerusnya sampah dan debu tanah setelah dihantam hujan deras sebentar mengalir kesepanjang sungai yang digunakan manusia disini, sangat sedih saat hujan sebentar yang tak bisa ditampung untuk keperluan, disini tanah becek dan licin akibat debu tebal lama tak disirami air sehingga saat turun tebing harus super hati – hati agar tidak tergelincir licinnya debu tebal sebelumnya yang telah menjadi tanah becek.

Lengkong Kawu
Keadaan sulit air, jalan bebatuan desa, listrik tak masuk desa dialami sudah lama sebelumnya karena dro’eng siru masih bermukiman pisah di lima bangka yaitu bangka bara, bangka mboleng, bangka beo siru, bangka lita, dan bangka kolong. dan ketika terjadi kebakaran besar menghanguskan serta melenyapkan perkampungan bangka bara maka warga bangka bara berbondong - bondong pindah rumah ke watu lendo atau sekarang disebut desa siru tidak heran jika kepala desa pertama desa siru dulu adalah kepala tu’a bara masa jabatan kepala tu’a bara belum menjadi desa siru masih kelurahan tangge dibawah pimpinan kepala tua atau yang dikenal dikampung tae bara, karena watu lendo sangat mudah akses ke kota kecamatan dan areal persawahan juga dilendo maka saat itu kelima bangka lainnya mengikuti jejak dro’eng bangka bara membangun rumah sederhana dan menempati pemukiman disekitar areal persawahan lembor dan bangka yang lama dijadikan rumah singgah saat menggarap kebun yang ditinggalkan, sejak tahun 1980 hingga 1995 zaman soeharto sedikit kebahagian yang dirasakan air PAM/PDAM mengalir dari pipa – pipa besi yang terpasang sambung kepemukiman kampung kolot hening warga bersamaan waktu itu suntikan dana dari peterwaser bangunan rumah dan perbaikan pipa PAM/PDAM yang rusak, tahun 1998 kembali seperti semula krisis air, jalan batu – batu yang berlobang digenangi air hujan sebulan yang lalu tepat ditengah badan jalan tak layak lewat kendaraan, listrik yang tak terakses hingga tahun 2009 listrik baru permulaan tarik kabel dan pasang tiang dari PLN untuk desa siru akhir tahun 2009 meteran PLN terpasang disebagian kecil rumah warga menikmati terangnya malam dari PLN walaupun banyak masalah yang timbul saat pemasangan mengenai penipuan pembayaran meteran oleh pelaku – pelaku tuang desa yang kong kalikong jahat dengan tuang PLN campur tuang negara padahal waktu itu alokasi dana APBN untuk listrik NTT senilai 1.6 Triliun dan gratis dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan listrik semua lapisan warga NTT yang tentunya pemberlakuan gratis harusnya berlaku untuk dro’eng siru tidak harus utang untuk mendapatkan meteran listrik karena memang dana 1.6T itu sengaja dialokasikan listrik gratis untuk dro’eng NTT, diakhir tahun 2009 juga jalan aspal asal aspal kuat tahan lama tidak perlu dikerjakan setengah sepanjang desa siru dari jalur utama transflores setelah tahun 2009 Bapak Syakar Abdul Jangku terpilih sebagai DPR Fraksi PKS utusan DAPIL 3 melanjutkan pengerjaan hanya satu jalur jalan “aspal asal aspal” yang belum rampung diawal duduk dikursi DPR dari pertigaan masjid hingga pertigaan lengkong kawu/cunga saung, dan saat akhir jabatannya memasuki 2014 kembali pertarungan PILEG priode berikutnya mungkin bermaksud menaruh simpati dihati dro’eng waewako dan siru kembali melanjutkan pengerjaan jalan “aspal asal terlihat aspal dan tiga hari kemudian setelah dilewati mobil angkutan terkelupas menempel diban angkutan kendaraan umum desa” hingga ke desa wae wako walaupun tidak rampung hingga perbatasan namun sayang dewifortuna tidak berpihak padanya, karena suara rakyat yang berpihak padanya tidak cukup  memenangkannya untuk kembali duduk di kursi DPR pada priode berikut dengan kendaraan partai PKS, mereka berseteru pada PILEK 2014 bersaing suara dalam satu keluarga ada Pak Sumardi  sebagai orang nomor satu diPKS manggarai barat selaku DPD yang ego melihat glagat pak Syakar A.Jangku tidak berpihak pada kepentingan partai ataupun tidak sesuai dengan maksud niat dari dro’eng mengusungnya yang difahami kontras oleh dro’eng siru akumulasi tutur lisan dan gesturnya kemudian karena berbagai macam polemik pro dan kontra pembacaan berasal dari dukungan fihak yang mendorong dirinya untuk maju bertarung yang berujung pada keputusan dirinya maju bertarung walaupun harus bertarung dengan kandidat lainnya yang bersasal dari siru termasuk Pak syakar A.Jangku penyelesaian pelaksanaan pembacaan kekuatan demi kemaslahatan umat yang acapkali digembar – gemborkan sebelumnya dalam diskusi tujuan kuasa kini menjadi persoalan nomor dua yang dikacau balaukan oleh mimpi menguasai setelah berkuasa dalam angan – angan semu ekspansif kerangka kekuatan menang menjadi diskusi yang sangat menarik sesaat sekedar menghabiskan anggaran politis aktualisasi diri menjadi sekat yang sengaja diciptakan agar elit bersama elit dan orang disekitar bersama dro’eng hanya menjadi penonton sandiwara lakon drama ego kesombongan pribadi sembari tak terlihat langsung tak terdengar langsung dibelakang saling mencaci maki pendukung lawan dengan gaya elit intelektuil agama, politik, hukum, dan segudang kajian peta kekuatan isinya caci maka lawan dan pendukungnya yang terpenting saat itu pelaksanaan egosentrisme utama walaupun setiap hari berbicara nama umat dalam kesan pribadi yang bertuhan memandang yang lain buruk dari aspek kecil yang tak berarti dikehidupan nyata ataupun konsep tuhan kepada manusianya atau bahkan konsep syariat hubungan manusia dengan manusia tidak dapat dipraktekkan dalam lapisan paling bawa dan menggalakkan propaganda yang sengaja dibuat kesan relegius demi kemenangan pribadi yaitu kesejahteraan umat, kemaslatan umat, keberlangsungan hidup harmonis umat kini sirna dalam sesaat, dan kedua calon yang dijagokan dalam lingkaran keluarga Pak Tan Akbar dan Malik Taking keluarga mengusung dua orang ini dengan gagah berani tak terbendung semakin membingungkan dro’eng siru yang lugu tak mengerti apa maksud dan tujuan mereka harus memilih siapa, andai saja suara seorang bisa diberikan kepada empat orang mungkin perasaan peduli sebagai keluarga selesai, ini dro’eng juga keluarga kalian telah membuat mereka saling mencerca satu sama lain atau tombo manggarai na “sawung” dengan penuh rasa tega demi melaksanakan diskusi peduli dan tugas moral sebagai orang terdidik gaya barbarian ala intelektuil moral politis amatir hadir membabi buta dengan membutakan mata hati menciptakan kebencian ditengah mereka yang kalian katakan diantara orang – orang yang kalian datangi “peduli pada dro’eng siru” kemudia bilang “Ite adalah ca dara ca nunduk” tapi menciptakan sebentuk permusuhan dan kebencian diantara “ITE” dengan secara sadar dan sengaja pengetahuan menjadi mesin konflik untuk orang – orang yang tidak faham didesa. hingga sampai sekarang masalah krisis kesulitan air hanya menjadi diskusi – diskusi dibawah pohon, didalam rumah saat nonton televisi, menjadi keresahan didepan rumah ketika pulang dari sawah badan dalam keadaan kotor gatal dan bau baju sisah ampas padi mesin rontok disaat panen padi, menjadi diskusi menarik saat seorang DPR singgah dirumah guru setelah ia berlalu pergi dari rumah seorang ibu didapur mengeluh air cuci gelas bekas minumannya dengan teriakan mengganggu keasyikan suaminya sedang menonton berita debat politik, kemudian  akhirnya pembicaraan malam itu cletup dari seorang yang duduk dipojok dekat pintu  tengah “percuma presa ome toe pande lemi, au jaong gemi hemi go calon tuang au tuang pande dama ome tuang tu’u hemi tu” dengan hati yang geli menahan tertawa, karena tak tahan untuk tertawa biar dikira tidak menghina dan tidak melukai hati mereka yang sedang duduk diskusi serius tiada akhir saya berlalu melangkah enyah dari kebiasaan orang banyak sembari menertawai lelucon banyak kulewati ditengah - tengah mereka yang anggap serius materi yang kurang dibutuhkan oleh dro’eng.

Hahahaha.... ini hanya sebuah tulisan, bukan apa – apa hanya tulisan dalam kata – kata yang kami anggap lelucon, kalau tidak mau ditindak lanjuti ya tidak apa – apa wong hanya kata – kata lelucon yang dianggap serius oleh sebagian pembaca tentang keadaan dro’eng ko’e hahahaha, kalau ditindak lanjuti ya bersyukur berarti akal fikiran, hati, beserta jiwa dan raga pemangku kepentingan dro’eng masih berfungsi dengan baik kalau tidak ya saya tidak bilang sehat. Itu saja terima kasih.
Catatan Antara Bandung - Malang

Yang mau update Artikel ilmiah, Cerpen, Sajak, Puisi, Opini, Berita, Video dan Foto Follow twitter Nacha sujono

Tidak ada komentar:

Baca juga topik dibawah ini:
Lihat kamus di Beranda!
DAFTAR EMAIL KAMU UNTUK BERLANGGANAN UPDATE Ujung Pena NS